Cerita ini saya tulis berhubung beberapa minggu yang lalu menemui dokumentasi yang sudah lama sekali dicari-cari. Begitu banyak perjalanan yang lalu-lalu hilang dan sengaja tidak ditulis berhubung dokumentasi yang tidak memadai (belum memakai jilbab kala itu). Jadi sayang sekali untuk melewatkan cerita pengalaman kedua mengunjungi Batu Daya atau dikenal juga dengan Bukit Unta. Cerita perjalanan ke Bukit Unta Raksasa yang pertama juga telat saya tulis. Di cerita yang pertama saya tulis secara umum, benar-benar umum. Lama perjalanan dan aturan-aturan yang ada di sana sebelum melakukan pendakian jelas tergambar di tulisan yang pertama.
Bentuk Batu Daya saat mendekati rumah Bang Aliong
Di tulisan kali ini saya ingin menggambarkan perbedaan saat tiba kedua kalinya di sana. Kedatangan Ken dan Obu kedua kalinya untuk melakukan pemanjatan dan mengeksplore Batu Daya hingga tuntas, setelah pertama kali mereka sedikit lagi untuk mencapai top pemanjatan. Diminta untuk menemani kembali karena komunikasi ke salah satu dari mereka menggunakan bahasa Inggris, saya pun bersedia ke sana, kali ini bersama Resky, junior di Mapala Untan. Saat mereka tiba di Pontianak kami menyusun rencana dan mengganti pilihan kendaraan untuk menuju ke sana. Kali ini kami mencoba jalur darat, belajar dari tahun sebelumnya yang menguras cukup banyak dana karena menggunakan terlalu banyak kendaraan dari kapal kelotok, mobil pick up, speed boat hingga truk. Kala itu kami memilih menggunakan mobil travel saja, berhubung yang punya mobil penduduk asli Batu Daya yang sebelumnya juga sudah saya hubungi untuk menjemput.
Batu Daya dilihat dari Dusun Keranji
Perjalanan kami sangat lancar, setelah singgah ke kantor Camat Simpang Dua, kami langsung ke Dusun Keranji, kami menginap di rumah Pak Kades sebelum nanti juga akan menginap di rumah Bang Aliong seperti saat pertama kali. Dari Dusun Keranji bentuk Batu Daya tidak menyerupai seekor Unta karena kami berada tepat di belakang Unta jika dilihat dari tempat Bang Aliong. Setelah mengurus ritual adat di pusat desa kami pun melanjutkan perjalanan ke kaki Batu Daya di mana rumah bang Aliong berada (sekitar 2 km menuju kaki tebing). Leony anak bungsu mereka tampak malu-malu bertemu Ken, yang memang suka menggendongnya kemana-mana saat pertama kali bertemu. Di sini, bentuk Batu Daya benar-benar seperti seekor unta yang sedang istirahat. Kali ini kami meminta izin untuk menjaga shelter berdua saja bersama Resky selama tim Ken dan Obu melakukan pemanjatan. Shelter kami berada 2 km jaraknya dari rumah Bang Aliong menuju ke dalam hutan. Selain menemani dan memandu, kami juga mengurus semua keperluan tim pemanjat selama perjalanan salah satunya menjaga shelter dan menjadi koki di lapangan (untuk menu lokal).
Batu Daya dilihat dari perjalanan dari Dusun Keranji menuju rumah Bang Aliong
Di kedatangan kedua kalinya Ken dan Obu ini mereka berhasil mencapai puncak semua batu di Bukit Unta, seperti yang saya jelaskan di tulisan pertama bahwa Bukit Unta atau Batu Daya terdiri dari 3 buah batu besar yang akan memperdaya mata manusia jika dipandang dari arah yang berbeda. Ketiga batu tersebut memiliki ketinggian yang berbeda-beda. Batu Daya memiliki ketinggian 955 mdpl, Kuang Kande 958 mdpl dan Belah Hulu 807 mdpl. Ketinggian ini saya dapatkan infonya begitu mereka menyelesaikan pemanjatan dan eksplorasi di atas sana juga sumber dari blog Ken.
Tebing ini selain unik juga merupakan hutan yang dianggap keramat oleh penduduk desa. Mitos yang beredar saat kami ke sana adalah pernah ada seorang warga yang hilang saat berburu dan yang tertinggal hanya pakaian dan anjing yang ikut berburu bersamanya, kepercayaan penduduk di sana juga adanya kera putih yang mendiami hutan di sekitar Batu Daya, walaupun hutan yang tersisa kala itu hanya sekitar radius 2 km (jarak dari rumah Bang Aliong ke kaki tebing), selebihnya tampak di sekeliling Batu Daya terhimpit oleh perkebunan sawit. Begitulah mitos yang beredar di sana, ritual adat yang kami laksanakan sebelum melakukan pemanjatan dan memasuki hutan adalah bentuk izin kepada leluhur-leluhur penduduk desa yang ada di sana. Semoga kekayaan alam yang ada di Batu daya akan tetap terjaga dan tetap menjadi primadona pemanjat lokal maupun mancanegara.
Batu Daya berada tepat di belakang rumah Bang Aliong